Seorang guru menorehkan sebuah titik hitam pada selembar kertas putih bersih. Lalu kepada siswanya dia bertanya, “Ini apa?” yang ditannya, karena tersugesti oleh gerakan tangan gurunya ketika menorehkan ujung pena dengan cepat menjawab,titik. Mendengar jawaban tadi sang guru mengulang pertanyaannya, “Ini gambar apa?”
Sekali lagi si murid menjawab, “Itu titik!!”
“Apa tidak ada gambar lain?”
“Tidak pak!”
“Bagaimana kalau saya katakan ada?”
Ketika jidat siswanya mulai mengkerut, pak guru tadi cepat menyambung, “Menurut pak guru ini kok gambar kapas yang diberi tinta hitam, atau pak tani bercaping dilihat dari atas pohon kelapa.”
Setelah panjang lebar meladeni minat siswanya berdebat, pak guru akhirnya berkata, “Objeknya sama. Sebuah titik, tapi sudut pandang yang berbeda akan menyebabkan makna yang berbeda.”
“Kalian bersikukuh itu tadi gambar sebuah titik karena kalian terpengaruh gerakan tangan pak guru kan?”
“Gerakan tangan tadi mengunci mati “pemaknaanmu” bahwa itu semua tadi adalah titik, tidak bisa tidak.”
***
Terhadap rahmat Allah, manusia sering terkunci mati oleh pembatasan-pembatasannya sendiri. Manusia, misalnya, sering mengaitkan bahagia dengan kecukupan harta. Tak punya sesuatu, berarti miskin. Miskin berarti tak terhormat. Hidup utuh, tangan-kaki, mata, kesehatan, matahari, semuanya dianggap given, mendekati bukan sesuatu yang layak disebut rahmat. Padahal kalau kita sakit, berapa yang harus dibayar untuk sebuah tabung oksigen yang hanya cukup untuk bernafas untuk beberapa waktu saja? Kita gratis bernafas puluhan tahun dianggap bukan rahmat. Tidak cacat kaki juga dibilang bukan rahmat. Mata cantik juga biasa. Baru kalau Allah mambuat kita diamputasi, mata menjadi buta dan matahari tak muncul seminggu, kita berteriak.
Siapa yang sudi menganggap air sumur yang tak berasa, tak berbau sebagai karunia? Semua perhatian terkunci mati bahwa, harta, harta, harta, rumah besar, mobil mewah, istri cantik itulah yang harus diburu. Harus aman sampai anak cucu. Hanya harta yang cukup menolong manusia. Tuhan hanya disebut dalam doa.
Jika kita pintar berparadigma, niscaya kita akan bersyukur. Secuil contoh tadi adalah ciri manusia yang sudah terperangkap “halusinasi materiil”, merasa terpenjara dan terhina ketika menerima kemiskinan. Selain harta, biasanya manusia terbuai oleh wanita, yang bahkan bagi beberapa orang, tingkat ujiannya lebih jauh hebat daripada harta. Sungguh, ketika kita telah terbebaskan dari perangkap hidup tanpa pemaknaan tadi, maka dibalik derita, dibalik kesedihan, kesusahan, dan berbagai kesuliatan hidup lainnya, berlimpah rahmat, berlimpah ilmu, berlimpah cinta. Dalam kesulitan ada kemudahan. Allah sampai bersumpah tentang hal ini dua kali. Artinya, ketika tertimpa pahit, fokuslah pada kesudahannya: kemudahan. Alangkah indah ketika manusia bisa berparadigma, bahwa semua yang diujikan kepada dirinya adalah salah satu bentuk cinta dari Tuhannya. Bagi orang yang sudah memiliki paradigma seperti ini, maka yang diminta adalah ujian, kesulitan, tempaan, bukan kemudahan, kenyamanan, dan kemapanan. Kenyamanan, kemapanan yang diminta akan bersifat statis, sedangkan jika Allah menguji hambanya dengan berbagai kesulitan, maka kita akan kaya dengan banyaknya pengalaman hidup yang diberikan. Semakin kaya, semakin bijak. Semakin banyak kesulitan, semakin banyak kemudahan. Jika kita dapat mamaknai serba-serbi hidup ini dengan baik, maka kita akan menemukan indah dan agungnya cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar